Pada hari itu, Sabtu-Minggu, 6-7 Maret 2010, bertempat di daerah Kokap, Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk pertama kali saya menerapkan ilmu ukur tanah yang saya dapatkan di bangku kuliah dalam keadaan lapangan yang lumayan ekstrim. Yaitu pada pengukuran talut atau dinding penahan tanah yang memiliki ketinggian lebih dari sekedar turap. Talut tersebut direncanakan akan dibangun di sisi tebing jalan pegunungan sejauh 5 km itu, menjadi pengalaman yang menarik bagi saya. Disamping lokasinya berada cukup jauh dari Kota Jogja, daerah tersebut melewati Sungai Progo yang legendaris, dekat dengan Bangunan Waduk Sermo.
Hari Sabtu pagi sekitar jam 07.00 kami bergegas ke TKP (Tempat Kejadian Proyek). Saya ditunggu oleh Bos Borong pada waktu itu yang juga merupakan orang yang saya hormati untuk bertemu di Pom Bensin Gamping. Belum-belum saya sudah membuatnya kecewa dengan keterlambatan saya. Namun dengan kebijaksanaan beliau saya dimaafkan. Kami pun menyusul rombongan yang sebelumnya telah berangkat lebih dahulu. Perjalanan yang cukup jauh sekitar 30 km dari Pom bensin tersebut dan sekitar 1,5 jam perjalanan dari kampus UII Terpadu. Perjalanan itu saya lewati dengan rasa senang dan penasaran karena untuk pertama kalinya menantang lokasi ukur tanah yang antah berantah itu. Penasaran karena sebelumnya hanya berlokasi disekitaran kampus saja.
Perjalan menuju ke TKP melewati banyak kenangan, jalan rel itu, sungai itu, tanjakan itu, aspal yang bergelombang dan berlubang itu, dengan menaiki sepeda motor dan menenteng alat Theodolit (alat ukut tanah) beserta rambu tembak di bahu kanan dan kiri. Huuuffttt... Berat tapi tak terasa letihnya dan justru hanya senang yang saya rasakan dapat turut serta dalam rombongan ukur tanah tersebut. Dalam rombongan tersebut terdapat didalamnya mas asisten senior saya yang melatih dan membimbing saya sebelumnya.
Hari-hari itu kami lewati di lokasi tersebut dengan ditemani panas terik matahari dan hujan gerimis yang malu-malu. Mulai dari jam 08.00 hingga mendekati waktu maghrib. meski setengah hari itu berpanas-panasan tapi terasa sebentar karena saking asyiknya bergelut dengan alat Thedolit dan rambu beserta meteran.
Setiap waktu menunjukkan pukul 12.00, Pak Bos Borong yang tadi saya sebutkan, sangat setia kunjung mencarikan makan siang untuk kami. Dalam pekerjaan yang terhitung cukup rumit itu, beliau senantiasa memberikan saya motivasi untuk siap menghadapi rintangan dalam pekerjaan tesebut maupun pekerjaan yang akan saya peroleh nantinya. Sungguh, saya senang sekali merasakannya. beliau seakan menjadi seorang bapak bagi saya waktu itu. Saya sangat berterimakasih atas semua hal itu. Mengingatkan saya agar tetap bersyukur atas nikmat.
Tidak terasa hari menginjak waktu senja kami merapikan peralatan dan siap untuk kembali pulang. Saya membayangkan bahwa bapak-bapak yang ada didalam rombongan itu sudah ditunggu olah anak istrinya dirumah, menanti sang ayah pulang membawa keringat dan legam yang melekat pada kulinya itu. Sungguh bayangan yang nyata adanya.
Senja itu, perjalanan pulang, dengan perasaan lega, diselimuti langit berwarna kuning, bintang mulai bersiap menampakkan kerlap-kerlip sinarnya, siluet yang menghiasi jalan rel kerata api yang panjang menancap pada cakrawala senja itu, disertai keringat hangat yang menempel pada raga ini, saya bersyukur, alhamdulillah ya Allah, atas karunia yang elah Engkau berikan kepada kami...
Kami serombongan mampir untuk makan malam di warung rica-rica bebek yang ada di kota Wates. Ditemani teh hangat yang begitu kental semuanya tampak damai, benar-benar merasakan kenikmatan yang telah disajikan. Makanan itu gratis untuk kami semua karena telah dibayar oleh Pak Bos Borong. Rasa syukur tidak ada habisnya saya rasakan dan rasa capek pun kalah dengan semua itu. Capek yang saya rasakan begitu saja malu untuk menampakkan gejala-gejalanya.
Makan pun telah selesai. Pak Bos Borong pun langsung memberi "wejangan" kepada kami untuk kembali lagi ke TKP besok harinya. Kebetulan beliau tidak dapat datang tepat waktu dikarenakan ada urusan dikampus. Namun tetap saja beliau akan setia menyediakan makan siang bagi kami tepat waktu. Alhamdulillah. sebelum kami semua bergegas pulang ke rumah masing-masing Pak Bos Borong mengingatkan saya agar tidak telat datang untuk hari esoknya. lantas saya jawab "Siap Pak Bos!".
Hari sudah petang, saya tidak begitu memikirkan bahwa pada waktu itu malam minggu yang biasa dihabiskan untuk pergi kelayapan atau pacaran. Hal yang saya pikirkan hanyalah bagaimana bangun pagi agar tidak telat berangkat ke TKP lagi. Saya pulang berboncengan dengan salah satu Bapak Laboran yang ada dirombongan untuk mengambalikan alat ke kampus. Sesampainya dikampus, saya disambut oleh teman-teman panitia Civil Championship 2010 yang kebetulan saya menggantikan ketua umum untuk tanda tangan surat-surat. Saat itu saya mengikuti rapat sebentar dan segera pulang.
Hari minggu 7 maret 2010 pukul 07.00 saya melancarkan serangan ke kampus untuk mengambil peralatan ukur tanah. Namun ternyata untuk perjalanan kali itu menggunakan mobil Bapak Laboran dikarenakan pengalaman sebelumnya yang lebih lelah apabila naik sepeda motor karena harus menenteng alat pada bahu kanan dan kiri yang begitu berat. Disamping itu pula untuk mengatasi apabila hari itu turun hujan. Berhubung rombongan juga lebih sedikit, akan muat semunya dalam satu mobil.
Perjalanan ke TKP pun berlangsung dan tidak lama kemudian sampai begitu cepat karena di dalam mobil saya terkentuk-kantuk dan sedikit tidur. Kami langsung menyiapkan alat untuk melanjutkan pekerjaan sebelumnya. Sesampainya pukul 12.00, Pak Bos Borong pun telah tiba untuk mengantarkan makanan untuk rombongan. Huuumm, terasa sangat lezat, tahu itu, ikan kembung itu, di guyur es teh menjadikan kerongkongan luar biasa nikmatnya.
Setelah kami semua mendapatkan separuh dari jarak ukur pun hari sudah mendekati jam 17.00. Sekitar 2,5 km sudah kami lewati bersama. Saatnya untuk pulang dan melanjutkannya esok lagi. Sebelum pulang Pak Bos Borong berpesan untuk menyusulnya di warung Sate Kambing yang kami belum pernah sebelumnya. Pak sopir pun membuntuti Pak Bos Borong yang mengendarai sepeda motornya.
Sampailah kami di warung Sate Kambing yang legendaris di kota Wates tersebut. Langsung saja untuk segera memesan Sate kambing atau Tong Seng, dan saya pun memesan Sate Kambing. Memang terjamin sekali Pak Bos Borong memperlakukan Pekerjanya. Semua bahagia. Kenyang yang kami bawa pulang, rasa lelah tidak lagi terasa. Kami pun bergegas pulang mengendarai mobil dan Pak Bos Borong dengan sepeda motornya. Padahal cuaca malam itu mendung, dan tiba-tiba di tengah perjalanan pulang turun hujan lebat. Kami yang di dalam mobil teringat oleh Pak Bos Borong yang tidak membawa jas hujan. Anehnya kami tidak merasa khawatir malah justru menertawakannya. "Ah, dia pasti selamat." ujar pak sopir.
Hari-hari setelah itu saya kuliah seperti biasanya dari hari Senin sampai Jum'at, saya digantikan personil lain untuk meneruskan pekerjaan sebelumnya. Hanya saja semakin lama semakin tidak lagi terdengar rombongan yang pergi ke TKP. Saya pun bertanya kepada Pak Bos Borong tentang apa yang terjadi. Beliau menjawab bahwa pekerjaan itu diberhentikan oleh Kontraktor atau Bos yang diatas karena hambatan mengenai kucuran dana.
Setelah itu saya merenung sejenak bahwa sebenarnya saya tidak mengharapkan mendapat upah dari pekerjaan tersebut sepeser pun karena memang itu sangat menyenangkan bagi saya. Meskipun membawa bekal makanan sendiri pun saya rela. Namun itu semua tidak berlaku untuk mereka Bapak-bapak rombongan yang memang sangat memerlukan upah tersebut untuk nafkah keluarganya. Memang dalam keadaan yang sangat memberikan saya pelajaran hidup yang belum saya rasakan. Bagaimana seorang Bapak mencari nafkah untuk membelikan susu anaknya yang masih bayi, mencukupi kebutuhan keluarga, baik biaya sekolah anaknya maupun uang belanja sehari-hari istrinya. Itu semua benar-benar membuat saya sebagai seorang laki-laki sadar dan bersiap untuk menghadapi itu semua nantinya.
Sekitar sebulan berikutnya saya berkunjung ke laboratorium dimana saya singgah sebagai asisten dosen dan kebetulan bertemu Pak Bos Borong yang sekaligus Pak Laboran laboratorium tersebut. Disana saya mendapat cerita begitu banyak tentang kelanjutan pekerjaan ukur tanah tersebut yang sudah diambil alih oleh kontraktor lain. Begitu saya akan berpamitan pulang, Pak Mantan Bos Borong tersebut memanggil saya dan menyampaikan, "Mohon diterima, ini dari PT LUDES JAYA." Saya bingung untuk menerimanya, karena tanpa harus menerima upah pun saya rela, cukup hanya untuk membantu Pak Bos Borong itu pun saya rela. Pengalaman yang saya dapatkan sudah sangat cukup untuk dijadikan upah bagi saya. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih untuk semua orang yang ada dirombongan kami itu. Semuanya sangat baik kepada saya dan dapat menerima saya dalam rombongan tersebut meski saya paling muda usianya. Terima kasih Bapak-bapak sekalian...
Mengutip dari paragraf diatas, saya benar-benar bertanya kepada Pak Bos Borong tentang siapa kontraktor yang mempekerjakan kami , tapi beliau tetap memberi nama Kontraktor tersebut dengan guyonan "kontraktor PT LUDES JAYA".
*tidak sempat berfoto-foto karena sibuk berpanas-panasan. hanya 2 foto itu yang dapat mewakili saat itu.